Senin, 19 Maret 2012

Rahasia Suami Terbongkar!!!

Pernikahan itu telah berjalan empat (4) tahun, tetapi pasangan suami istri itu belum dikaruniai seorang anak. Mulailah kanan kiri berbisik-bisik: “Masih belum punya anak juga, ya? Masalahnya pada  siapa, ya? Suaminya atau istrinya, ya?” Dari berbisik-bisik, akhirnya menjadi buah bibir.


 

Tanpa sepengetahuan siapa pun, suami istri itu pergi ke salah seorang dokter spesialis kandungan untuk konsultasi kemudian melakukan pemeriksaaan. Hasil tes lab. mengatakan bahwa sang istri adalah seorang wanita yang mandul, sedangkan sang suami tidak ada masalah apa pun.Tidak ada harapan bagi sang istri untuk sembuh dalam arti tidak ada peluang baginya untuk hamil dan mempunyai anak.

 

Melihat hasil seperti itu, sang suami mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raji’un lalu menyambungnya dengan ucapan Alhamdulillah.

Sang suami seorang diri memasuki ruang dokter dengan membawa hasil tes lab. Ia sama sekali tidak memberitahu istrinya dan membiarkan sang istri menunggu di ruang tunggu perempuan yang terpisah dari kaum laki-laki.

Sang suami berkata kepada sang dokter, “Saya akan panggil istri saya untuk masuk ruangan, tetapi tolong nanti Anda jelaskan kepada istri saya bahwa masalahnya ada pada saya, sedangkan dia tidak ada masalah apa-apa.”

Sang dokter
terheran-heran lalu menolak permintaan tersebut. Akan tetapi, sang suami terus memaksa sang dokter. Akhirnya, sang dokter setuju untuk mengatakan kepada sang istri bahwa masalah tidak datangnya keturunan ada pada sang suami, bukan pada sang istri.

Sang suami memanggil sang istri yang telah lama menunggunya kemudian tampak pada wajahnya kesedihan dan kemuraman. Bersama sang istri ia memasuki ruang dokter kemudian sang dokter membuka sampul  hasil
tes lab. Dokter pura-pura membaca dan menelaahnya kemudian ia berkata, “… Oooh, kamu, wahai fulan, yang mandul, sementara istrimu tidak ada masalah. Tidak ada harapan bagimu untuk sembuh.”

Mendengar pengumuman sang dokter, sang suami berkata, “inna lillahi wa inna ilaihi raji’un!” Terlihat pada raut wajahnya. Wajah seorang yang pasrah kepada qadha dan qadar Allah Swt.

Pasangan suami istri itu pun pulang ke rumah. Mereka berupaya semaksimal mungkin menutupi aib tersebut sebaik mungkin. Namun, secara perlahan, tetapi pasti. Tersebarlah berita tentang rahasia tersebut ke para tetangga, kerabat, dan sanak saudara.

Lima (5) tahun berlalu dari peristiwa tersebut. Sepasang suami istri bersabar hingga akhirnya datanglah detik-detik yang sangat menegangkan, yakni sang istri berkata kepada suami, “Wahai suamiku, aku telah bersabar selama sembilan (9) tahun, aku tahan-tahan untuk bersabar dan tidak meminta cerai darimu hingga semua orang berkata, ‘betapa baik dan solehanya sang istri itu terus setia mendampingi sang suami selama sembilan tahun, padahal dia tahu bahwa ia tidak akan memperoleh keturunan dari suami.’ Namun, sekarang rasanya aku sudah tidak dapat  bersabar lagi. Aku ingin engkau segera menceraikan aku agar aku boleh menikah dengan lelaki lain, mempunyai keturunan darinya kemudian dapat melihat anak-anakku, menimangnya, dan mengasuhnya.”

Mendengar emosi sang istri yang memuncak, sang suami berkata, “Istriku, ini adalah cobaan dari Allah Swt. Kita mesti bersabar, kita mesti …, mesti …, dan mesti …” Singkatnya, bagi sang istri, sang suami malah berceramah di hadapannya.

Akhirnya, sang istri berkata, “OK, aku akan tahan kesabaranku satu tahun lagi. Ingat… hanya satu tahun tidak lebih.” Sang suami setuju dengan dipenuhi harapan besar dalam benaknya, yakni semoga Allah Swt. memberi jalan keluar yang terbaik bagi keduanya.

Beberapa hari kemudian, tiba-tiba sang istri jatuh sakit. Hasil
tes lab. mengatakan bahwa sang istri mengalami gagal ginjal. Karena mendengar keterangan tersebut, jatuhlah psikis sang istri. Mulailah memuncak emosinya. Ia berkata kepada suami, “Semua ini gara-gara kamu, mas, selama ini aku menahan kesabaranku hingga jadilah sekarang aku seperti ini. Mengapa selama ini kamu tidak segera menceraikan aku? Aku kan ingin punya anak, membelai, dan menimang bayi. Aku kan … Aku kan …” Sang istri pun terlantar di rumah sakit.

Di saat yang genting itu, tiba-tiba suaminya berkata, “Maaf, istriku, aku ada tugas ke luar negeri. Aku berharap semoga kamu baik-baik saja.”

“Haah, pergi?” kata sang istri. “Ya, aku akan pergi karena tugas sekalian mencari donatur ginjal untuk kamu, istriku. Semoga aku dapat nanti.” kata sang suami.

Sehari sebelum pembedahan, datanglah sang donatur ke tempat pembaringan sang istri. Maka disepakatilah bahwa besok akan dilakukan operasi pemasangan ginjal dari sang donatur.


Saat itu sang istri teringat suaminya yang pergi. Ia berkata dalam diri, “Suami tak berguna dia itu, istrinya dibedah, eh... dia malah pergi meninggalkan diriku terkapar dalam ruang pembedahan.”

Pembedahan  berhasil dengan sangat baik. Setelah satu minggu, suaminya datang, dan tampaklah pada wajahnya tanda-tanda orang yang kelelahan.

Diketahuilah bahwa ternyata sang donatur itu tak lain, yakni sang suami itu sendiri. Ya, suaminya telah menghibahkan satu ginjalnya untuk istrinya, tanpa sepengetahuan sang istri, tetangga, atau siapa pun selain dokter yang dipesannya agar menutup rapat rahasia tersebut.


Subhanallah

Setelah sembilan (9) bulan dari pembedahan  itu, sang istri melahirkan anak. Bergembiralah suami istri tersebut, keluarga besar, dan para tetangga.

Suasana rumah tangga kembali normal. Sang suami pun juga telah menyelesaikan studi S2 dan S3-nya di sebuah fakultas syariah dan telah bekerja sebagai seorang panitera di sebuah mahkamah  di Jeddah. Ia pun telah menyelesaikan hapalan Alquran dan mendapatkan sanad dengan riwayat Hafs, dari ‘Ashim.

Pada suatu hari, sang suami ada tugas out station, tetapi ia lupa menyimpan buku hariannya dari atas meja, buku harian yang selama ini ia sembunyikan. Tanpa sengaja, sang istri mendapatkan buku harian tersebut lalu membuka dan membacanya.

Hampir saja ia jatuh pingsan saat menemukan rahasia tentang diri dan rumah tangganya. Ia menangis meraung-raung. Setelah agak reda, ia menelepon suaminya lalu menangis sejadi-jadinya. Ia berkali-kali mengulang permohonan maaf kepada suami. Sang suami hanya dapat membalas suara telepon istri dengan menangis pula.

Setelah peristiwa tersebut, selama tiga bulan sang istri tidak berani menatap wajah suaminya. Jika ada keperluan, ia berkata  dengan menunduk. Tidak ada kekuatan untuk memandangnya sama sekali.


(Kisah ini adalah terjemahan dari cerita yang dituturkan oleh teman tokoh cerita ini. Ia tulis dalam email lalu ia sebarkan kepada kawan-kawannya.)


[sumber: www.seorangayah.wordpress.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar